Apa Isi RUU TNI dan Mengapa Banyak Menimbulkan Kontra?

Politik

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Maret 2025 telah memicu berbagai reaksi dan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak pihak menyoroti beberapa pasal dalam revisi tersebut yang dianggap berpotensi mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Artikel ini akan mengulas isi RUU TNI yang menjadi sumber kontroversi serta alasan di balik penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Latar Belakang Revisi UU TNI

Pemerintah dan DPR mengajukan revisi UU TNI dengan alasan untuk menyesuaikan peran TNI dalam menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks. Tujuannya adalah memberikan fleksibilitas lebih bagi TNI dalam menjalankan tugas-tugasnya, baik dalam operasi militer maupun peran di luar bidang pertahanan. Namun, beberapa perubahan yang diusulkan justru menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran militer dalam ranah sipil, yang sebelumnya telah diminimalisir pasca reformasi 1998.

Pasal-Pasal Kontroversial dalam RUU TNI

Berikut adalah beberapa pasal dalam RUU TNI yang menjadi sorotan dan menimbulkan kontroversi:

1. Pasal 7: Tambahan Tugas Operasi Militer Selain Perang

Pasal ini memperluas tugas TNI dalam operasi militer selain perang. Beberapa tugas tambahan yang diamanatkan meliputi:

  • Mengatasi gerakan separatis bersenjata.
  • Mengatasi pemberontakan bersenjata.
  • Mengatasi aksi terorisme.
  • Mengamankan wilayah perbatasan.
  • Mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.
  • Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri.
  • Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya.

Penambahan tugas ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan wewenang dan tumpang tindih dengan peran institusi sipil lainnya.

2. Pasal 47: Penempatan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil

Pasal ini memungkinkan prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga sipil tertentu. Hal ini dianggap membuka peluang kembalinya dwifungsi TNI, di mana militer memiliki peran ganda dalam ranah sipil dan militer, yang sebelumnya telah dihapuskan sebagai bagian dari reformasi demokrasi di Indonesia.

3. Pasal 53: Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit

Revisi ini juga mencakup perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI. Meskipun bertujuan untuk mempertahankan personel berpengalaman lebih lama, beberapa pihak khawatir bahwa hal ini dapat menghambat regenerasi dan pembaruan dalam tubuh TNI.

4. Pasal 65: Dualisme Peradilan Militer dan Umum

Pasal ini menimbulkan kekhawatiran terkait dualisme peradilan antara militer dan umum. Beberapa pihak menilai bahwa hal ini dapat menghambat transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum terhadap anggota TNI yang melakukan pelanggaran.

Alasan Penolakan dari Berbagai Elemen Masyarakat

Berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi hak asasi manusia, akademisi, dan mahasiswa, menyatakan penolakan terhadap revisi UU TNI ini. Beberapa alasan utama penolakan tersebut antara lain:

1. Ancaman terhadap Demokrasi dan Supremasi Sipil

Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dan perluasan peran TNI dalam ranah non-militer dianggap sebagai langkah mundur yang mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Sejarah telah menunjukkan bahwa campur tangan militer dalam urusan sipil berpotensi mengurangi kontrol sipil atas militer dan melemahkan institusi demokrasi.

2. Potensi Kembalinya Dwifungsi TNI

Kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI menjadi salah satu alasan utama penolakan. Dwifungsi TNI pada masa Orde Baru memberikan peran ganda kepada militer dalam bidang sipil dan militer, yang berdampak negatif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.

3. Mengancam Independensi Peradilan

Beberapa pasal dalam revisi UU TNI dianggap mengancam independensi peradilan dengan memberikan kewenangan lebih kepada peradilan militer dalam menangani kasus yang melibatkan anggota TNI. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum.

4. Berpotensi Melanggar Hak Asasi Manusia

Penambahan tugas TNI dalam operasi militer selain perang, seperti mengatasi aksi terorisme dan pemberontakan bersenjata, dikhawatirkan dapat membuka peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia jika tidak diawasi dengan ketat.

Reaksi Publik dan Aksi Demonstrasi

Sejak pengesahan RUU TNI, gelombang demonstrasi terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Kelompok mahasiswa, aktivis, dan elemen masyarakat lainnya turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap undang-undang tersebut. Beberapa aksi massa yang terjadi antara lain:

  • Demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR/MPR RI.
  • Aksi unjuk rasa di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
  • Seruan akademisi dan aktivis HAM agar Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU TNI.

Kesimpulan


Revisi UU TNI yang baru disahkan telah menimbulkan kontroversi besar di kalangan masyarakat. Beberapa pasal dalam undang-undang ini dianggap berpotensi mengancam prinsip demokrasi, supremasi sipil, serta transparansi hukum. Penolakan dari berbagai elemen masyarakat menunjukkan bahwa masih ada banyak hal yang perlu dikaji lebih lanjut sebelum undang-undang ini diterapkan sepenuhnya.

Sebagai warga negara, penting bagi kita untuk terus mengawal kebijakan yang berdampak pada kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Perdebatan mengenai RUU TNI ini masih berlangsung, dan kita harus terus mengikuti perkembangannya agar dapat memahami implikasi yang lebih luas bagi masa depan negara kita.

Related Posts